Rabu, 03 November 2010

Buku-buku atau Kitab kitab yang Sebaiknya Dibaca




Berikut kami tampilkan beberapa buku yang layak dibaca oleh kaum Muslimin. Buku-buku ini telah direkomendasikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah. Kiranya daftar ini bisa menjadi salah satu acuan.

Buku Bidang 'Aqidah

[1] Tsalatsatul-Ushul;

[2] Al-Qawa'idul-Arba';

[3] Kasyfu Syubhat;

[4] Kitabut-Tauhid

(Keempatnya adalah karya Syaikhul-Islam Muhammad al-Tamimi rahimahullah);

[5] Al-Aqidah al-Wasithiyah yang membahas al-Asma' wash-Shifat. Ini buku terbaik yang pernah ditulis dalam pembahasan masalah ini, sangat layak untuk dibaca dan dirujuk.

[6] Al-Hamawiyah dan

[7] at-Tadmuriyah, kedua buku ini lebih luas bahasannya daripada al-Wasithiyah. Ketiga buku tersebut karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

[8] Al-Aqidah ath-Thahawiyah; karya Abul-Hasan 'Ali bin Abil 'Izz.

[9] Ad-Durarus-Saniyyah fil-Ajwibatin-Najdiyah yang dihimpun oleh Syaikh 'Abdurrahman bin Qasim rahimahullah.

 [10] Ad-Duratul Mudhiyyah fi 'Aqidatil-Firqatil-Mardhiyyah karya Muhammad bin Ahmad as-Safaraini al-Hanbali, didalamnya ada kesalahan berupa ithlaqat (pemutlakan penafian sifat tanpa perincian, penrj.) yang menyelisihi madzhab Salaf, seperti ucapan beliau;

“Rabb kami tidaklah memiliki fisik dan jiwa. Tidak pula raga, Dia Maha tinggi di tempat yang tinggi.”

Oleh karena itu, para penuntut ilmu haruslah mempelajari buku ini dibawah bimbingan Syaikh yang paham dengan 'aqidah Salafiyah agar dapat menjadi (tidak tersesat[1]) dengan adanya kesalahan ithlaqat dalam buku tersebut. 'Aqidah ini menyelisihi 'aqidah as-Salaf ash-Shalih.

Buku Bidang Hadits

[1] Fathul-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah.

[2] Subulus-Salam Syarh Bulughul Maram karya ash-Shan'ani, buku ini menghimpun antara hadits dan fikih.

[3] Nailul-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya asy-Syaukani.

[4] 'Umdatul-Ahkam karya al-Maqdisi. Buku ini ringkas dan hadits-haditsnya terdapat dalam Shahihain, maka tidak perlu meneliti kembali akan keshahihannya.

[5] Al-Arba'in an-Nawawiyah karya Abu Zakariya an-Nawawi rahimahullah.

Buku ini bagus karena didalamnya terhimpun adab, manhaj yang baik dan kaidah-kaidah yang sangat bermanfaat, seperti hadits; “Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berfaidah baginya.” Kaidah ini, sekiranya aku jadikan sebagai jalan yang aku berjalan diatasnya maka niscaya telah mencukupi. Demikian pula dengan kaidah didalam berbicara, hadits; “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.”

[6] Bulughul-Maram karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah.

Buku ini sangat bermanfaat dan sarat faidah. Penulisnya menyebutkan perawi-perawi haditsnya, menyebutkan siapa yang menshahihkan dan mendha'ifkannya, dan mengomentari shahih atau dha'if hadits-haditsnya.

[7] Nukhbatul-Fikar karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani, yang dianggap mencakup seluruhnya (dalam ilmu mushthalahul-hadits, penrj.). Seorang penuntut ilmu apabila memahami buku ini secara sempurna dan telah mantap maka ia sudah tidak butuh lagi dari buku-buku mushthalah yang banyak. Ibnu Hajar rahimahullah memiliki metode penulisan yang sangat bermanfaat, yaitu cermat dalam pengklasifikasian. Seorang penuntut ilmu apabila membaca buku ini akan menjadi bersemangat karena buku ini dibangun diatas kesan logis, maka aku katakan; “Sungguh baik kiranya para penuntut ilmu menghafalnya karena buku ini merupakan ringkasan yang sarat manfaat ilmu mushthalah.”

[8] Al-Kutubus-Sittah (Shahih al-Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). Aku nasihatkan para penuntut ilmu untuk banyak membaca buku-buku ini, karena di dalam hal ini ada dua faidah. Pertama; merujuk kepada ushul (pokok). Kedua; terjadinya pengulangan nama perawi hadits di benaknya, apabila nama-nama perawi ini senantiasa berulang-ulang, bukannya tidak mungkin akan muncul nama seorang perawi –misalnya dari perawi Bukhari- di sanad hadits manapun, melainkan ia bakal mengetahui bahwasanya perawi tersebut termasuk perawi Bukhari, maka ia dapat memetik faidah dari hadits ini.

Buku Bidang Fikih

[1] Adabul-Masyi ila ash-Shalati karya Syaikhul-Islam Muhammad al-Tamimi rahimahullah.

[2] Zadul-Mustaqni' fi Ikhtisharil-Muqni' karya al-Hijawi. Buku ini adalah matan terbaik di dalam masalah fikih. Buku ini adalah buku yang penuh berkah, ringkas namun padat. Syaikh kami al-'Allamah 'Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah mengarahkan kami untuk menghafalkannya, beserta menghafal [3] Dalil ath-Thalib. [4] Ar-Raudhul-Murbi' Syarh Zadul-Mustaqni' karya Syaikh Manshur al-Bahuti.

[5] 'Umdatul-Fiqh karya Ibnu Qudamah rahimahullah.

[6] Al-'Ushul min 'Ilmil-Ushul (karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin sendiri, penrj.) merupakan buku yang ringkas yang membuka pintu (pembahasan ushul-fiqh) bagi para pelajar (pemula).

Buku Bidang Tafsir

[1] Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah adalah buku yang bagus ditimbang dari tafsir dengan atsar, bermanfaat, dan terpercaya. Namun sedikit sekali pembahasannya dari segi i'rab dan balaghah-nya (sebagian cabang pembahasan ilmu bahasa Arab, red).

[2] Taisirul-Karimir-Rahman fi Tafsir Kalamil-Mannan karya Syaikh 'Abdurrahman bin Sa'di rahimahullah, merupakan buku yang baik, mudah, dan terpercaya. Aku nasihatkan untuk membacanya.

[3] Muqaddimah Syaikhul-Islam fit-Tafsir, merupakan pengantar penting dan baik (di dalam memahami ilmu tafsir, penrj.)

[4] Adhwa'ul-Bayan karya al-'Allamah Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah. Buku ini mencakup hadits, fikih, tafsir dan ushulul-fiqh.

Buku dalam Ilmu Waris


[1] Matan al-Rahabiyah karya ar-Rahabi.

[2] Matan al-Burhaniyah karya Muhammad al-Burhani. Buku ini ringkas, bermanfaat dan mencakup segala pembahasan fara'idh. Aku memandang bahwa buku Burhaniyah lebih baik daripada al-Rahabiyah dikarenakan al-Burhaniyah lebih lengkap dari al-Rahabiyah pada satu sisi, dan lebih luas informasinya dari sisi lain.

Buku-buku Lain


[1] Matan al-Ajurumiyah sebuah buku dalam bidang Nahwu yang ringkas namun luas cakupannya.

[2] Alfiyah Ibnu Malik merupakan ringkasan ilmu Nahwu.

Dalam bidang Sirah, yang terbaik menurut pandanganku adalah buku

[3] Zaadul-Ma'ad karya Ibnul-Qayyim rahimahullah, sebuah buku yang sangat bermanfaat, menyebutkan sejarah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berbagai keadaan beliau, kemudian beliau mengambil hukum yang banyak dari kisah tersebut.

[4] Raudhatul-'Uqala karya Ibnu Hibban al-Busti rahimahullah merupakan buku yang bermanfaat ditinjau dari ringkasannya, yang menghimpun sejumlah besar faidah dan kemuliaan 'ulama, ahli hadits dan selain mereka.

[5] Siyaru A'lamin-Nubala' karya adz-Dzahabi. Ini adalah buku yang bermanfaat, sarat akan faidah yang berlimpah. Hendaknya para penuntut ilmu membaca dan merujuknya.


[Dinukil oleh Abu Salma dari Kitabul-'Ilmi Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah, penyusun; Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, cet. I, 1423/2002, Dar ats-Tsuraya lin-Nasyr wat-Tauzi ', hal. 92-96]
 
_________
FooteNote:
1. Kata dalam tanda kurung ini merupakan tambahan dari kami (ahlussunnah.info). Dalam teks aslinya kata ini tidak ada, sehingga mengakibatkan kalimat ini menjadi aneh, janggal, dan tidak bisa dipahami. Sepertinya ada kesalahan dari editor majalah Fatawa dalam hal ini. Wallahu a'lam.


Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2010/11/buku-buku-atau-kitab-kitab-yang.html#more#ixzz14CXOhcO9

Senin, 30 Agustus 2010

Cukuplah Kematian Sebagai Peringatan



Ketika nafas mulai tersengal...
Ketika nyawa sedang meregang...
Ketika mata membelalak dan dahi berkeringat...
Pintu taubat telah tertutup. Engkau mulai memasuki gerbang kehidupan baru. Sementara istri, anak dan keluarga serta kerabatmu menangis dan merintih disisimu, engkau sedang dalam kesedihan yang mendalam, tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan dan menghindarkan dirimu dari jemputan Malaikat Maut. Kini, engkau saksikan dan rasakan sendiri peristiwa mengerikan itu, setelah sebelumnya engkau mereguk banyak kenikmatan dan kesenangan tanpa kenal rasa syukur. Telah datang ketentuan Allah kepadamu, lalu nyawamu diangkat ke langit. Setelah itu, kebahagiaan atau kesengsaraankah yang akan engkau dapat?

وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون۝ فلولا إذا بلغت الحلقوم۝ وأنتم حينئذ تنظرون۝ ونحن أقرب إليه منكم ولكن لا تبصرون۝ فلولا إن كنتم غير مدينين۝ ترجعو نها إن كنتم صدقين۝ فأما إن كان من المقربين۝ فروح وريحان وجنت نعيم۝ وأما إن كان من أصحب اليمين۝ فسلم لك من أصحب اليمين۝ وأما إن كان من المكذ بين الضالين۝ فنزل من حميم۝ وتصلية جحيم۝ إن هذا لهو حق اليقين۝ فسبح باسم ربك العظيم۝
“Kamu (mengganti) rizki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah). Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah). Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh rizki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapatkan hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.” (QS. Al-Waaqi’ah: 82-96)

Wahai jiwa-jiwa yang tertipu dunia...
Wahai hati yang keras membatu karena hawa nafsu...
Wahai manusia yang lalai dari ketaatan kepada Rabbnya...
Sudahkah engkau mempersiapkan bekal menuju perjalanan panjang dan berat didepanmu?
Sudahkah engkau mengetahui tempat seperti apa yang kelak kau tinggali?
Sudahkah engkau memikirkan semua itu...?

Saudaraku, cukuplah kematian menjadi peringatan untuk kita bahwa dunia hanyalah kebahagiaan semu dan tak berarti apa-apa. Tidakkah engkau dengar sebuah firman Rabbmu yang sanggup menggetarkan gunung,
كل نفس ذا ئقة الموت وإنما توفون أجوركم يوم القيـمة فمن زحزح عن النـار وأدخل الجنـة فقد فاز وما الحيوة الد نيا إلا متع الغرور۝
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. ‘Ali Imran: 185)

Tidakkah ayat tersebut mengusik hati yang lama mati? Tidakkah ayat tersebut membuat telinga yang tuli menyimak kembali? Tidakkah ayat tersebut menjadi cambuk diri?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لو تعلمون مل أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثبرا
“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (Muttafaq ‘alaih)

Saudaraku, sudahkah datang kepadamu khabar kematianmu? Kapan waktumu? Dimana tempatnya? Seperti apa kondisimu kala itu? Demi Allah, engkau tidak tahu dan engkau tidak akan pernah tahu. Jadi kenapa kau tunda taubatmu? Kau tunda perbaikan dirimu? Kau tunda persiapan perbekalanmu? Apakah “nanti” yang selalu kau katakan untuk taubatmu berada pada jarak yang jauh dengan ajalmu? Apakah “nanti” itu yang kau temui lebih dulu ataukah kematianmu yang datang lebih dulu? Apakah ketika engkau sudah benar-benar mengetahui perih dan pedihnya sakaratul maut, baru engkau akan meminta waktu kepada Rabbmu untuk bertaubat?

حتى إذا جاء أحدهم الموت قال رب ارجعون۝ لعلى أعمل صلحا فيما تركت, كلا, إنها كلمة هو قا إلها۝
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang diantara mereka, dia berkata, ‘Yaa Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)

وليست التو بة لـلذ ين بعملون السيئات حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إنى تبت الئن۝
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.’” (QS. An-Nisaa’: 18)

Seorang penyair berkata,
Mereka katupkan kelopak mataku –setelah berputus asa-
lantas bergegas pergi membelikanku kafan
salah seorang kerabatku berdiri dengan tergesa
pergi ke tukang memandikan mayat agar datang memandikanku
salah seorang mendatangiku lalu melucuti semua pakaianku
dan menelanjangiku sendirian
mengucurkan air dari atas kepalaku dan memandikanku
tiga kali seraya meminta kafan kepada keluargaku
dan mereka mengenakanku baju tanpa lengan dan tanpa jahitan
hanya kamper sebagai bekalku
mereka meletakkanku di dekat mihrab lalu mundur di belakang imam
menshalatiku lalu melepasku
mereka menshalati jasadku dengan shalat tanpa ruku’ dan sujud
Semoga Allah merahmatiku...

Di hari kematianmu, keluarga dan kerabat mengangkat jasadmu di atas pundak, setelah sebelumnya engkau menjadi orang yang mengangkat jasad orang lain. Kala itu, apakah jasadmu ingin supaya mereka mempercepat langkahnya, atau malah jasadmu bingung –hendak dibawa kemana jasadmu itu?
Kemudian, mereka memasukkanmu kedalam lubang sempit dan gelap setinggi dua meter oleh orang-orang yang paling engkau cintai dan keluarga yang paling dekat denganmu. Mereka menutupimu dengan papan sehingga menghalangi cahaya matahari yang hendak masuk ke dalam liang lahatmu. Lalu, mereka menimbun jasadmu dengan tanah sampai tertutupi kuburanmu. Salah seorang dari mereka berkata, “Mintakanlah ampun untuk saudaramu, dan mintakanlah ketetapan iman untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.”
Tidak berapa lama, mereka semua pergi meninggalkan tubuh dingin dan kaku yang dulunya adalah dirimu yang rupawan. Mereka meninggalkanmu dalam gelap dan dingin. Di sekelilingmu hanyalah tanah dan tanah. Lalu dikembalikanlah ruhmu kepada jasadmu, dan datanglah dua malaikat yang biru kehitam-hitaman untuk bertanya, “Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?” Dengan apakah engkau akan menjawabnya..?

Jika ketika engkau mati, engkau telah bertaubat dan beriman, maka Allah akan meneguhkan jawabanmu, dan engkau bisa mengambil hadiahmu berupa kebahagiaan di akhirat kelak, seperti disebutkan dalam firman-Nya,
يثبت الله الذ ين ءامنوا بالقول الثابت فى الحيوة الدنيا وفى الأخـرة ويضـل الله الظـلمين ويفعل الله ما يشاء۝
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Ibrahim: 27)

Namun, bagaimana jika ketika engkau meninggal, engkau belum sempat bertaubat? Engkau tidak akan tahu jawaban atas pertanyaan itu. Engkau hanya akan berkata, “Hah... hah... aku tidak tahu!” Kemudian terdengarlah seruan, “Bohong! Baringkan ia di Neraka, dan bukakan pintu Neraka untuknya!” Maka engkau akan merasakan panasnya Neraka, kuburanmu akan menghimpit dan meremukkan seluruh tulang belulangmu. Kemudian datanglah kepadamu seseorang yang berwajah amat buruk, berbau busuk dan berbaju lusuh, ia berkata, “Aku datang kepadamu membawa berita buruk. Inilah hari yang dijanjikan kepadamu.” Maka bertanyalah dirimu tentang dirinya, maka dia menjawab, “Aku adalah amal burukmu.” Kemudian menjadilah dirimu buta, bisu dan tuli, dan tanganmu memegang sebatang besi yang apabila sebuah gunung dipukul dengan besi tersebut maka hancurlah dia hingga menjadi debu. Begitupula dirimu, ketika palu besi itu mengenai dirimu maka rasa sakit yang tiada tertahankan akan membuatmu menjerit hingga lengkingannya terdengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Dan tidak ada yang engkau harapkan setelah itu, melainkan agar Allah tidak menyegerakan Hari Perhitungan.

Wahai calon penghuni kubur, apa yang membuatmu terpedaya oleh dunia? Tidakkah engkau mengetahui bahwa akan tiba waktunya engkau meninggalkan dunia yang engkau cintai ini atau dunia yang akan meninggalkanmu? Mana hartamu yang berlimpah dan rumahmu yang mewah? Mana pakaian-pakaian mahal dan indah yang selalu engkau kenakan itu? Mana keluarga dan kerabat yang selalu engkau bela itu? Mana dirimu yang rupawan itu?

Ketika engkau telah menghuni liang lahat, maka itulah rumahmu. Kafan yang berharga murah dan tidak bermerk, itulah pakaianmu. Aroma kamper adalah wewangianmu. Ulat dan cacing menjadi temanmu. Bayangkan jasadmu setelah terkubur selama tiga hari, seminggu, sebulan. Kala itu, tubuhmu telah menjadi penganan lezat bagi cacing dan ulat –teman-temanmu-, kafanmu terkoyak, mereka masuk ke dalam tulangmu, memutus anggota tubuhmu, merobek sendi-sendimu, melelehkan biji matamu... Itulah kesudahanmu, kesudahan makhluk-makhluk bernyawa.

Demikian saudaraku, cukuplah kematian menjadi peringatan dan nasihat. Cukuplah kematian menjadikan hati bersedih, menjadikan mata menangis, menjadi ajang perpisahan dengan orang-orang yang dicintai dan menjadi pemutus segala kenikmatan dunia.
Wahai saudaraku... setiap hela nafasmu menjadi langkah maju menuju kematian. Maka janganlah menunggu ‘nanti’ untuk bertaubat, tapi bersegeralah, karena engkau tidak pernah tahu sudah sedekat apa kematian itu dengan dirimu.

Yaa Rabbi, janganlah Engkau mengadzabku
Sesungguhnya aku mengakui dosa-dosaku selama ini
Berapa kali aku berbuat kesalahan di dunia
Namun Engkau tetap memberiku karunia dan kenikmatan
Jika aku ingat penyesalanku atas segala kesalahan
Kugigit jariku dan kegeretakkan gigiku
Tiada alasan bagiku kecuali tinggal harapan dan husnuzhanku
Dan ampunan-Mu jika Engkau mengampuniku
Manusia mengira aku orang baik-baik
Padahal aku benar-benar manusia terburuk bila tidak Engkau ampuni

(Syaikh Abdul Muhsin bin Abdur Rahman dalam Fasatadzkuruna Maa Aquulu Lakum Waqofat Liman Aroda an-Najah)

Senin, 26 Juli 2010

Dayyuts; profil seorang bapak dan suami yang buruk

Adalah ideal seorang suami yang membimbing istrinya, atau seorang bapak yang memimpin keluarganya sesuai dengan koridor Islam yang telah ditetapkan. Namun coba kita lihat sekitar. Berapa banyak keluarga dengan suami yang sibuk 24 jam, istri yang hanya berkutat seputar mall, salon, dan arisan, serta anak-anak yang keluar rumah pamit sekolah, baru pulang menjelang tengah malam. Dikiranya dengan menyediakan fasilitas lengkap dan jaminan harta, sang kepala keluarga telah mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya. Namun kenyataannya, biduk yang ia nahkodai justru bocor di sana-sini. Dan bukan tidak mungkin jika suatu hari ia akan karam.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali Imran: 14)

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagim maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Q.S. At Taghobun: 14)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu dalam menafsirkan ayat 14 surah Ali Imran berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, amka Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hambaNya agar jangan kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dialrang dalam syariat. Dan Dia memotivasi para hambaNya untuk selalu melaksanakan perintah-perintahNya dan mendahulukan keridhaanNya…”

Sedangkan maksud dari ‘menjadi musuh bagimu’ ialah kadang-kadang isteri atau anak dapat melalaikan dari melakukan amal shalih dan menjerumuskan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.

Lalu, siapakah dayyuts itu? Sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallalllahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang Allah telah mengharamkan surga bagi mereka: pecandu khamer, orang yang durhaka kepada orang taunya, dan ad-Dayyuts, ialah seorang yang membiarkan terjadinya perbuatan maksiat dalam keluarganya.” (HR. Ahmad, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’).

Ancaman keras dalma hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini termasuk dosa besar. Karena termasuk ciri dosa besar adalah perbuatan itu diancam akan mendapat balasan di akhirat nanti, baik berupa siksaan, kemurkaan Allah, atau ancaman keras lainnya. Selain ancaman keras, dayyuts juga dapat meniadakan agama bagi pelakunya, atau minimal melemahkannya. Dengan membiarkan anggota keluarganya berbuat maksiat kepada Allah, berarti ia membolehkan dan menganggap baik perbuatan zhalim tersebut. Di sinilah letak bahayanya. Tidak hanya itu, kepala keluarga yang demikian tentu juga akan membawa keburukan bagi istri dan anak-anaknya. Dengan membiarkan atau menuruti keinginan mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat, berarti menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran.

Cinta dan kasih saying sejati seorang suami atau bapak terhadap istri dan anak-anaknya tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Allahu Ta’ala a’lam bishshawab.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Q.S. At Tahrim: 6)

(Diringkas dengan penambahan dari majalah al-Mawaddah edisi 9 tahun ke-2, Rabi’ul akhir 1430 H, artikel dengan judul yang sama)

Senin, 05 Juli 2010

Etiket umum pendidikan anak muslim

Anak dilahirkan ke dunia sebagaimana layaknya kertas putih bersih. lalu kita sebagai orang tuanyalah yang akan melukis di atas kertas tersebut. Dari Abu Hurairah,bahwa Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan percaya kepada Allah); maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut, yahudi, nasrani, majusi, atau dia masuk ke dalam Islam”.(hadits riwayat Imam Al Bukhari)

Dari sinilah mengapa kita harus mengilmui apa apa dan bagaimana pendidikan yang harus kita terapkan untuk buah hati kita. Salah dalam menddik akan fatal akibatnya, karena tidak hanya dampak di dunia yang akan dirasa namun lebih kepada pertanggung jawaban kita kelak diakhirat.

Berikut adalah beberapa point mengenai etiket yang dapat kita ajarkan untuk buah hati agar menjadi insan yang sholih lagi mushlih, berhias adab dan akhlaq islami.

ü Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.

ü Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.

ü Dilarang tidur tertelungkup dan dibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan.

ü Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.

ü Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.

ü Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.

ü Dilarang bermain dengan hidungnya.

ü Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.

ü Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

ü Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.

ü Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

ü Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.

ü Dibiasakan kebersihan mulut dengan menggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

ü Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

ü Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.

ü Dibiasakan membaca “Alhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan “Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.

ü Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.

ü Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.

ü Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

ü Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.

ü Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.

ü Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.

ü Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.

ü Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.

ü Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.

ü Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.

ü Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

ü Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.

ü Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.

ü Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.

(Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)

Disalin dari : http://majalah-anak-islam.blogspot.com

Selasa, 08 Juni 2010

Ghibah, Haram Tapi Diminati

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak. Syaithan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”

Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak. Yahya bin Mu’adz mengatakan: “Hati adalah laksana periuk yang mendidihkan isi yang ada didalamnya. Lisan laksana gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang sedang berbicara. Karena lisannya akan menuangkan isi hatinya, manis, masam, segar, sangat asin ataukah rasa yang lain. Akan jelas bagi kita rasa hatinya dengan gayung lisannya.”[1]

Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri
Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم, قال: ذكرك أخاك بما يكره, قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول, قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتيته وإن لم يكن فيه فقد بهته
“’Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’ Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi bersabda: ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim (XVI/142)]

Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]

Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan. Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]
‘Aisyah berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata,
ما أحب أني حكيت إنسا نا و أن لي كذا وكذا
“Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223), lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]

Ghibah adalah Dosa Besar
Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata,
ائـذنوا له بئس أخو العشيرة
“Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]
Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]

Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
يـأيهـا الذين ءامنوا الجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا, أيحب أحدكم أن يأكل لحم إخيه ميتـافكر هتموه, والتـقـو الله, إن الله تواب رحيم
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah,
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لماعرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم, فقلت: من هؤلاء يا جبريل؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
“’Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.” [Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]

Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يا معشر من امن بلسانه ولم يد خل الإيمان قلبه لا تغتا بوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
“Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.” [Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul Jami’ (VI/308 no. 3549)]

Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin. Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa billah...[7]

Sikap Ketika Mendengar Ghibah
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang telah dijelaskan di atas.[8]

Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وما من امرئ ينصر مسلما في موضع ينتـقص فيه من عرضه وينتهـك فيه من حرمته إلا نصره الله في موطن يحب نصرته
“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan.” [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271) dan Ahmad dalam Musnad-nya (IV/30). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/160)]

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من رد عن عرض أخيه رد الله عن وجهه النار يوم القيامة
“Barang siapa membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka pada Hari Kiamat.” [Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/450) dan Tirmidzi (IV/327). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (V/295)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن يعتقه من النار
“Barang siapa membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah pasti akan membebaskannya dari Neraka.”[Hadits shahih, riwayat Ahmad (VI/461). Lihat juga Shahihul Jami’ (V/290 no. 6116)]

Ghibah yang Diperbolehkan
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan[9], “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i, yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya, yakni dengan enam perkara:
1. Ketika terzhalimi. Orang yang dizhalimi (dianiaya) boleh mengadukan orang yang menzhaliminya kepada qadhi, hakim, penguasa, atau pihak berwajib.
2. Meminta bantuan untuk merubah dan menghilangkan kemungkaran dan menyadarkan pelaku maksiat agar kembali ke jalan yang benar.
3. Meminta fatwa kepada mufti dengan menjelaskan kondisi atau keadaan orang lain dengan maksud agar mufti memahami keadaan dan duduk perkara yang sebenarnya terjadi.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya. Contoh ghibah yang diperbolehkan dalam hal ini adalah kritik terhadap perawi hadits (jarh wat ta’dil); menceritakan kekurangan seseorang ketika dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting (seperti pernikahan); jika melihat barang yang cacat atau budak yang suka mencuri atau suka mabuk, kita mengingatkan pembeli dengan maksud memberi nasihat dan bukan untuk mengacaukan transaksi jual beli dan merugikan pihak penjual; menasihati orang yang menimba ilmu kepada orang fasiq atau ahli bid’ah dan dikhawatirkan orang tersebut akan terpengaruh, maka kita menasihatinya dengan menjelaskan keadaan gurunya yang sebenarnya; apabila kita melihat seseorang yang tidak amanah dalam memegang jabatannya atau tugasnya dan selalu melanggar aturan agama, maka kita dapat melaporkannya kepada atasannya dengan menjelaskan keadaaan yang sebenarnya.
5. Orang-orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Dalam hal ini, boleh menceritakan kejelekan yang dilakukannya dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang dilakukannya secara terang-terangan. Namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang selain itu kecuali berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan.
6. Memanggil seseorang yang masyhur (populer) dengan sebutan semacam itu, seperti misalnya memanggil seseorang yang terkenal dengan julukan ‘si buta’, ‘si pincang’, ‘si pendek’, dsb. Dan sebutan ini hanya diperbolehkan untuk memberikan penjelasan keadaan orang tersebut, adapun jika maksudnya adalah untuk mencela orang tersebut, maka hal tersebut tidak boleh. Akan tetapi, akan sangat lebih baik apabila memberikan penjelasan tanpa menggunakan julukan seperti itu.

Solusi Untuk Terlepas Dari Ghibah
Agar terhindar dari ghibah, maka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Hendaklah kita menyadari bahwa apabila kita menggunjing seseorang, berarti kita akan mendapat kemurkaan dan kemarahan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai riwayat sebelumnya. Hendaknya kita juga menyadari bahwa pahala dan segala bentuk kebaikan yang telah susah payah kita kumpulkan pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, akan dilimpahkan kepada orang yang kita ghibahi pada Hari Kiamat nanti sebagai bentuk ‘ganti rugi’ terhadap perampasan kehormatan orang lain. Dan ketika kita tidak memiliki sedikit kebaikan pun untuk diberikan kepadanya, maka kejelekannyalah yang akan ditambahkan kepada kita, sehingga memberatkan timbangan keburukan kita[10]. Maka bagaimana kesudahan kita apabila timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan kebaikan..?
2. Telitilah dan perbaikilah faktor-faktor yang mendorong kita untuk berbuat ghibah. Apakah faktor-faktor yang membuat kita ‘menyukai’ ghibah akan memberi manfaat untuk kita atau orang yang kita gunjing atau terlebih untuk orang lain yang ikut mendengarkan..? Jika tidak, maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/ 184 no.6475) dan Muslim (I/68 no. 74), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Infotaiment = Ghibahtainment
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa televisi menjadi salah satu faktor terjebaknya umat manusia dalam kecenderungan hidup yang hedonis dan permisif. Bagaimana tidak..? Televisi telah ‘sukses’ menjadikan para pemuda menggantungkan mimpinya hanya sebatas kebahagiaan dunia. Idola mereka kini adalah artis-artis muda, dengan perawakan rupawan dan uang jutaan. Tidak jarang para pemuda dan orang tua duduk di depan televisi menunggu siaran program infotainment, hanya untuk mendengarkan kabar terbaru dari artis idola mereka. Mereka pikir bahwa mereka akan dicap gaul dan modis jika mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh artis idola mereka. Sungguh suatu kebobrokan akhlak yang nyata..!!
Ingatlah wahai kaum muslimin, tidak akan menjadi baik suatu keburukan, meski dia dihiasi dengan keindahan dan kemewahan. Ghibah, atau apa pun namanya, tetap haram hukumnya, dari dulu hingga sekarang, meskipun engkau menggantinya dengan judul yang bermacam-macam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Hadits shahih, riwayat Tirmidzi no. 2317)

___________
Catatan kaki:
[1] Hilyatul Auliya,’ X/63.
[2] Al-Adzkar, hal. 288.
[3] Afaatul Lisaan fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hal. 18.
[4] Hadits shahih, riwayat Bukhari no. 6131 dan Muslim no.2591.
[5] Lafazhnya sebagai berikut,
أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عا تقــه وأما معاوية فصعلو ك لا مال له
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah, dia adalah orang miskin yang tidak memiliki harta.” [Hadits shahih, riwayat Muslim no. 1480].
[6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim, IV/215.
[7] Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, XIII/224.
[8] Al-Adzkar, hal 294.
[9] Syarah Nawawi fi Shahih Muslim, XVI/142 dan Al-Adzkar, hal. 292.
[10] Berdasarkan hadits yang cukup panjang dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 2581.

disalin dari http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com

Senin, 24 Mei 2010

Penghapus - Penghapus dosa


Termasuk bentuk kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita adalah, Dia mensyari’atkan kepada kita sebagian amalam-amalan yang dapat menhapuskan dosa dan kesalahan. Dan sebagiannya telah datang dalam Al-Quran dan yang lainnya dalam as-Sunnahm Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah telah menulis sbuah kitab dengan judul “Ma’rifatul Khishaal Mukaffiratu adz-Dzunub al-Muqaddamah Wa al-Muakhkharah” yang artinya “Mengetahui Penghapus-Penghapus Dosa Yang Lalu dan Yang Akan Datang” dan kami telah meringkas perkara-perkara tersebut dari kitab ini dan selainnya yang membahas tema yang sama yaiut tentang hal-hal yang bisa menhapuskan dosa. Kami meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Asmaul Husna dan Sifatnya yang tinggi agar memberikan manfaat kepada kami dan kepada seluruh kaum muslimin dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Dan berikut ini sebagian amalan yang dapaat menhapuskan dosa:

1.Menyempurnakan wudhu dan berjalan menuju masjid

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط

رواه مالك ومسلم والترمذي والنسائي وابن ماجه بمعناه

“Apakah kalian mau aku tunjukkan sesuatu dengannya Allah menghapuskan dosa dan ,meningkatkan derajat?” mereka berkata:’Tentu wahai Rasulullah ‘. Beliau menjawab:”Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam kondisi tidak menyenangkan, memperbanyak langkah menuju masjid dan menunggu shalat setelah shalat, maka itu adalah ribath, itu adalah ribath, itu adalah ribath (berjaga-jaga di daerah perbatasan musuh)” (Dtrtwayatkan oleh Imam Malik, Muslim, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib 185)

2.Puasa hari ‘Arafah dan ‘Asyuraa’

صيام يوم عرفة إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله و السنة التي بعده و صيام يوم عاشوراء إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله .

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Puasa hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hal itu menghapuskan satu tahun sebelumnya dan sesudahnya, dan puasa ‘Asyuraa’ aku berharap kepada Allah hal itu menghapuskan satu tahun sebelumnya” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Lihat Shahih al-Jaami’)

3. Shalat malam di bulan Ramadhan

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه رواه البخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang, ,menghidupkan ramadhan (shalat di malamnya), diampuni dosanya yang telah lalu”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasaai)

4. Haji mabrur



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع من ذنوبه كيوم ولدته أمه رواه البخاري وغيره

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang berhaji dan dia tidak berbuat rafats (hubungan suami istri) dan tidak berbuat kefasikan maka kembali dari dosanya seperti hari ketika dilahirkan oleh ibunya”.(HR.al-Bukhari dan lainnya)

Dan Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam juga bersabda:

الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة رواه أحمد والطبراني في الأوسط صحيح الجامع (3170)

”Haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga”.(HR. Imam Ahmad dan ath-Thabrani. Shahihul Jami; (3170))

5. Memaafkan (menghapus atau memberi tempo) orang yang berhutang dan bangkrut

Dari Abu Hurairah berkata:

عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كان تاجر يداين الناس فإذا رأى معسرا قال لفتيانه تجاوزوا عنه لعل الله يتجاوز عنا فتجاوز الله عنه ) رواه البخاري فتح الباري(4/309)

Dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:”Dahulu ada seorang pedagang yang memberikan hutang kepada manusia (para pembeli), apabila dia melihat mereka kesusahan dalam membayarnya dia berkata kepada pembantunya:’Maafkanlah dia (hapuskam atau tangguhkan hutangnya), semoga Allah kelak akan memaafkan kita. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memaafkannya”.(HR Imam al-Bukhari. Fathul Bari 4/309)

6. Mengikuti/menyusul keburukan dengan kebaikan

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya):

”Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan”. (QS.Huud: 114)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

7 - اتق الله حيثما كنت و أتبع السيئة الحسنة تمحها و خالق الناس بخلق حسن . ( حسن ) انظر حديث رقم : 97 في صحيح الجامع .

”Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan ikutilah/susullah perbuatan buruj dengan kebaikanm, nisscaya dia (kebaikan) akan menghapuskannya, dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang terpuji”.(hadits hasan. Lihat hadits ke 97 dalam Shahihul Jami’)

7.Menybarkan salam dan mempebagus ucapan,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" إن من موجبات المغفرة بذل السلام و حسن الكلام " .رواه الخرائطي في " مكارم الأخلاق وصححه الألباني في " السلسلة الصحيحة " 1935

”Sesungguhnya yang termasuk sebab pengampunan adalah menyebarkan salam dan baik dalam perkataan”.(HR.al-Kharaaithy dalam Makarimul Akhlaq. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1935)

8. Sabar ketika mendapatkan ujian,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" إن الله تعالى يقول : إذا ابتليت عبدا من عبادي مؤمنا ، فحمدني و صبر على ما ابتليته به ، فإنه يقوم من مضجعه ذلك كيوم ولدته أمه من الخطايا ، و يقول الرب للحفظة : إني أنا قيدت عبدي هذا و ابتليته ، فأجروا له من الأجر ماكنتم تجرون له قبل ذلك و هو صحيح " . أخرجه أحمد ( 4 / 123 ) وحسنه الألباني في " السلسلة الصحيحة "144

”Sesungguhnnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:”Apabila Aku menguji salah seorang hambaku dari hamba-hamba-Ku yang beriman, lalu dia memuji-Ku dan bersabar terhadap ujian yang menimpanya, maka dia bangkit dari pembaringannya seperti ketika dia baru dilahirkan oleh ibunya (bersih) dari dosa. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat penjaga:”Aku telah mengikat hamba-Ku ini dan telah mengujinya, maka tulislah baginya pahala sebagaimana kalian menulisnya sebelum itu ketika dia sehat”.(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/123 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 144)

9.Menjaga Shalat lima waktu, sholat Jum’at dan puasa Ramadhan,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.

”Shalat lima waktu, (dari) shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, selama dosa besar dijauhi”.(HR. Imam Muslim)

10. Menyempurnakan wudhu

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ – أَوِ الْمُؤْمِنُ – فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ ».

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu, maka ketika membasuh wajahnya keluar dari wajahnya dosa yang dia lihat dengan matanya bersama air wudhu atau tetesan air terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari setiap tangannya dosa yang dia lakukan dengan tangannya bersama air atau air tetesan terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari tiap-tiap kakinya dosa yang dia tempuh dengan kakinya bersama air atau air tetesan terakhir”.(Syarah Shahih Musllim oleh Imam Nawawi rahimahullah)

11.Membaca dzikir-dzikir penhapus dosa,

a.Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , beliau bersabda:


« مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ ».

”Barang siapa yang ketika mendengar adzan membaca:



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

maka akan diampuni dosanya.(Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 4/331)

Dan barang siapa yang membaca:


سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

dalam sehari 100 kali, dihapuskan kesalahannya walaupun seperti buih di lautan. (HR. al-Bukhari dan Muslim. Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 17/20)

Dan dalam Shahih Muslim juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

“Barang siapa yang bertasbih selesai shalat 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali maka itu 99 kali dan menggenapkannya seratus dengan kalimat:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
diampunilah dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di laut.”(Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/99)

Dari Mu’adz bin Anas (dari bapaknya) radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang makan lalu membaca:

الحمد لله الذي أطعمني هذا ورزقنيه من غير حول مني ولا قوة

(Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan aku dan memberi rizki tanpa daya dan kekuatanku), diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR.at-Tirmidzi, dihasankan oleh al-Albani rahimahullah)

Dan barang siapa yang memakai pakaian lalu membaca:

لحمد لله الذي كساني هذا و رزقنيه من غير حول مني و لا قوة

(Segala puji bagi Allah yang telah memberi pakaian kepadaaku dan memberi rizki tanpa daya dan kekuatanku), diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR.Abu Dawud, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

12.Adzan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



إن المؤذن يغفر له مدى صوته

”Sesungguhnya muadzin diampuni dosanya sejauh mana suaranya”.(hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahamad di dalam musnadnya. Lihat Shahihul Jami’)

13.Shalat, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات هل يبقى من درنه شيء ؟ قالوا لا يبقى من درنه شيء قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا

”Apa pendapat kalian sekiranya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian, dia mandi setiap hari 5 kali, apakah tersisa kotorannya?Mereka (para Sahabat) berkata:”Tidak tersisa dari kotorannya sedikit pun.”Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”itu seperti shalat lima waktu, Allah menghapuskan dosa-dosa dengannya.”(HR.al-Bukihari dan Muslim. Lihat Fathul Bari 2/11)

14.Berjalan untuk shalat ke masjid, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

( صلاة الرجل في الجماعة تضعف على صلاته في بيته وفي سوقه خمسة وعشرين ضعفا وذلك أنه إذا توضأ فأحسن الوضوء ثم خرج إلى المسجد لا يخرجه إلا الصلاة لم يخط خطوة إلا رفعت له بها درجة وحط عنه بها خطيئة فإذا صلى لم تزل الملائكة تصلي عليه ما دام في مصلاه اللهم صل عليه اللهم ارحمه ولا يزال أحدكم في صلاة ما انتظر الصلاة )

”Shalatnya seorang laki-laki bersama jama’ah (di masjid). Dilipat gandakan dari shalatnya di rumahnya, di pasarnya 25 kali lipat, hal itu apabila dia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu keluar menuju masjid, tidaklah dia keluar kecuali untuk shalat, maka tidaklah dia melangkahkan kakinya satu langkah kecuali dinaikkan untuknya satu derajat, dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Apabila selsai shalat maka para Malaikat terus-menerus mendoakannya selama dia berad di tempat shalatnya dengan doa: اللهم صل عليه اللهم ارحمهdan salah seorang di antara kalian berada dalam shala tselama menunggu shalat.(HR.al-Bukhari dan Muslim)
[

b]Bertepatan ucapan “Aamiin” nya dengan amiin malaikat, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

: ( إذا قال الإمام { غير المغضوب عليهم ولا الضالين } . فقولوا آمين فإنه من وافق قوله قول الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
p[]“Apabila imam menucapkan { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }, maka ucapkanlah aamiin, karena barang siapa yan amiinya bertepatan dengan aamiinnya Malaikat maka diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR. al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari 2/266)

Dan masih banyak lagi penghapus-penghapus dosa yang lain, seperti ahalat malam. Jihad di jalan Allah, sedekah, telah mendapatkan hukuman had di dunia dan lain-lain.Wallahu A’lam

(Sumber:”Ath-Thariq ilaa al-Janah”diterjemahkan dengan sedikit perubahan oleh Abu Yusuf Sujono) dikutip dari http://alsofwah.or.id

Jumat, 21 Mei 2010

Bagaimana Investasi di Jalan Allah? … Ini bukan investasi biasa


Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al Hadid: 11)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik untuk jalan fii sabilillah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.

Kisah yang Menarik

‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas, Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa.” Istrinya mengatakan, “Iya.”

Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah, aku telah memberi pinjaman kebun inu pd Rabbku”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”

Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dgn Abud Dahdaa, lalu mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.”

(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir 4/377)

Masya Allah …
Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba lah yang butuh dengan hal seperti ini, karena ini adalah karunia Allah agr hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat.

Disalin dari : http://rumaysho.wordpress.com

Kamis, 20 Mei 2010

Mari Mendakwahkan Tauhid


Tidak diragukan lagi bahwa tauhid merupakan permasalahan yang paling penting dalam agama ini. Maka mendakwahkannya juga merupakan perkara yang penting yang tidak boleh disepelekan. Namun sangat disayangkan, banyak di antara para dai yang meremehkan dakwah tauhid, mereka justru disibukkan dengan permasalahan lainnya tanpa mempedulikan dakwah yang satu ini. Sementara orang yang berkonsentrasi mendakwahkan tauhid dianggap ketinggalan zaman dan memecah belah umat. Padahal inilah inti dakwah para rasul ‘alaihimus salam.

Bukti Benarnya Tauhid Seseorang

Setelah sesorang bertauhid dengan benar dan berusaha untuk menyempurnakan tauhidnya, kewajiban selanjutnya adalah berusaha untuk mendakwahkan tauhid. Karena keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali jika disertai ajakan dakwah kepada tauhid. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Demi masa(1). Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian(2). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran(3).” (QS. Al Ashri :1-3)

Di samping menyempurnakan tauhid juga harus ada ajakan kepada tauhid. Jika tidak, maka ada yang kurang dalam tauhid tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meniti jalan tauhid disebabkan dia mengetahui bahwa jalan tauhid adalah jalan yang terbaik. Kalau memang dia benar dalam keyakinannya, maka dia juga harus mendakwahkan tauhid. Mengajak kepada seruan tauhid Laa ilaaha ilallah adalah termasuk kesempurnaan tauhid seseorang, dan tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dia berusaha untuk mendakwahkan tauhid tersebut. (Lihat Al Qoulul Mufiid I/ 82, Syaikh ‘Utsaimin, cet. Darul ‘Aqidah)

Dakwahnya Pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf:108)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk memberitahukan kepada manusia tentang penjelasan manhaj (metode berdakwah) para nabi dan pengikutnya, yakni berdakwah kepada Allah di atas dasar ilmu. Hal ini menunjukkan barang siapa yang tidak mengajak kepada Allah di atas ilmu maka dia bukanlah pengikut Nabi yang sejati walupun dia seorang fakih yang berilmu.

Yang dimaksud dengan firman Allah أَدْعُوا إِلَى اللهِ (menyeru kepada Allah) adalah berdakwah kepada tauhidullah ‘Azza wa Jallla yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, serta berdakwah terhadap perkara syariat agama yang lainnya. Sehingga dakwah berlaku untuk orang kafir agar masuk ke dalam Islam dan juga dakwah kepada kaum muslimn yang bermaksiat kepada Allah agar kembali bertaubat kepada Allah, mau melaksanakan perintah, memperingatkan mereka dari syirik dan meninggalkan maksiat. Dakwah tidak hanya terbatas pada mendakwahi orang kafir, bahkan kaum muslimin juga membutukan dakwah. Dakwah bersifat umum, yakni dakwah untuk mengenal tauhid dan lawannya yaitu syirik. (Lihat I’aanatul Mustafiid I/93-94, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Markaz Fajr)

Ayat di atas mengandung dua faedah penting :

Pertama. Bahwa yang dimaksud dakwah kepada Allah adalah dakwah kepada tauhid. Inilah yang dipraktekkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman.

Kedua. Peringatan untuk senantiasa ikhlas dalam berdakwah . Seseorang yang berdakwah harus ikhlas dalam berdakwah, sebagaimana firman Allah أَدْعُوا إِلَى اللهِ (menyeru kepada Allah), karena kebanyakan juru dakwah sekarang mengajak kepada dirinya dan kelompoknya. (Lihat At Tamhiid hal 65, Syaikh Shalih Alu Syaikh, cet. Daarut Tauhid)

Para Nabi Mendakwahkan Tauhid

Setiap Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala pasti semua mendakwahkan tauhid dan memperingatkan tentang syirik. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl:36).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Seluruh para rasul menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah dan melarang untuk menujukan ibadah kepada selain-Nya. Allah Ta’ala tidak mengutus seorang rasul pun sejak terjadinya kesyirikan pada kaum Nuh yang diutus rasul kepada mereka kecuali untuk tujuan tersebut (hanya beribadah kepada Allah semata). Rasul yang pertama diutus ke muka bumi sampai penutup para Rasul, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, semuanya mendakwahkan sebagaimana yang Allah perintahkan,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’:25)”( Fathul Majiid hal 24. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, cet. Muasasah al Mukhtar.)

Allah Ta’ala berfirman,

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). “ (QS. Asy Syura’:13)

Inilah dakwah seluruh para Nabi, di antara mereka adalah para Ulul ‘Azmi. Mereka berjalan di atas manhaj dakwah yang satu yaitu tauhid. Inilah kewajiban paling agung yang merupakan materi dakwah yang diusung oleh para nabi kepada bani adam apaun kondisi yang mereka hadapi walaupun mereka menghadapi kondisi kaum, negeri, dan waktu yang berbeda-beda. Materi dakwah yang mereka sampaiakn satu yang merupakan kewajiban yang harus ditempuh ketika mengajak manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini juga merupakan jalan dakwah yang ditempuh para penerus dakwah rasul. Tidak boleh mengganti dan berpaling dari jalan dakwah ini. (Usus Manhaj Salaf fii Da’wah ilallah hal 86, Syaikh Fawwaz bin Haliil as Suhaimi, cet. Daar Ibnul Qayyim )

Tauhid Asas Perbaikan Umat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan suatu bangunan, hendaklah ia memantapkan pondasinya, menguatkannya, dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya pondasi dan kemantapannya. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Semakin kokoh suatu pondasi akan menghasilkan bangunan yang tinggi dan kuat. Jika suatu bangunan roboh mudah untuk memperbaikinya. Namun jika pondasinya tidak kokoh, bangunan itu tidak akan tinggi dan kuat. Jika suatu pondasi telah hancur, maka bangunannya pun akan roboh . Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan hancur”.

Beliau melanjutkan : “Maka buatlah bangunanmu di atas pondasi iman yang kokoh. Jika rusak bagian dari bangunan yang tinggi maka memperbaikinya lebih mudah bagimu daripada hancurnya suatu pondasi. Pondasi ini terdiri dari dua macam. Pondasi pertama yaitu benarnya pengenalan terhadap Allah, perintah-perintah-Nya serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Yang kedua adalah ketundukan dan ketaatan hanya kepada Allah dan rasul-Nya dengan sebenar-benarnya. Inilah pondasi terkuat yang bisa digunakan oleh seseorang untuk menegakkan bangunannya dan ia bisa meninggikan bangunannya sesuka dia. Oleh karena itu, perkokohlah pondasi bangunan kalian, jagalah kekuatannya dan senantiasalah memeliharanya” (Al Fawaaid hal 149-150, Ibnul Qayyim al Juziyah, cet. Daarul ‘Aqidah)

Contohlah Dakwah Nabi Kita

Barangsiapa yang mau meneliti sejarah Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa salam, dia akan dapat mengambil pelajaran manhaj berdakwah kepada Allah. Bahwasanya yang pertama kali yang diserukan kepada manusia adalah aqidah tentang beribdaha hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya serta meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana ini merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha ilallah.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam adalah uswah dalm segala hal . termasuk dalam melaksankan dakwah. Beliau tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutus menjadi rasul, menyeru kepada manusia untuk memperbaiki aqidah dengan menyembah Allah semata dan meninggalakan peribadatan kepada berhala. Seruan ini beliau lakukan sebelum memerintahkan mereka untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan meninggalkan kemaksiatan seperti riba, zina, meminum khomer, dan perjudian.

Hal ini menunjukkan dengan jelas kesalahan sebgian jamaah dakwah pada zaman ini yang tidak memprioritaskan aqidah dan hanya mementingkan dakwah terhadap perbaikan akhlak (dengan mengenyampingkan dakwah tauhid, ed). Mereka melihat kebanyakan manusia melakukan perbuatan syirik akbar di sekitar kuburan di negeri-negeri Islam namun tidak mengingkarinya, tidak melarang darinya, baik dengan perkataan, pada saat ceramah, atau dengan tulisan, kecuali hanya sebagian kecil saja. Bahkan terkadang mereka berada di antara barisan orang-orang yang melakukan syirik, bersatu dengan orang-orang yang menyimpang, tidak melarang dan memperingatkan mereka! (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqad hal 15, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Maktabah Salsabil)

Tauhid Prioritas Utama

Bukti bahwa dakwah tauhid yang seharusnya jadi prioritas adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ,

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah –dalam riwayat lain: kepada tauhidullah-. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah” (H.R Bukhari 1395 dan Muslim 19)

Dalam hadist ini terdapat pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling penting kemudian baru yang lainnya. Inilah jalan dakwah para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat Laa ilaaha ilallah, karena hal ini merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadat Laa ilaaha ilallah, maka memungkinkan dibangun di atasanya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang lainnya. Tidak mungkin Engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka masih musyrik, Engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, shodaqoh, menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena Engkau tidak meletakkan asas yang pertama.

Hal ini berbeda dengan kondisi para dai hari ini yang tidak memperhatikan tentang dakwah terhadap syahadat Laa ilaaha ilallah. Mereka mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul dengan baik sesama manusia, berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, dan permasalaha yang lain, namun mereka tidak mengingatkan tentang perkara tauhid dan tidak memperhatikannya seolah-olah ini bukan sesuatu yang wajib. Bagaimana pun mereka susah payah berjuang namun amalan mereka tidak bermanfaat sehingga mereka memperkokoh pondasi dan pokok yang mendasari perkara-perkara agama yang lain berupa hukum-hukum, sholat, zakat, haji, dan sebaginya. Inilah manjahj para Nabi sebagaimana firman Allah,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (An Nahl:36).(I’aanatul Mustafiid I/ 99-100)

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih pantas untuk didahulukan? Bukankah dakwah tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul, sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?

Dakwah Tauhid Dari Awal Sampai Akhir

’Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika sakit yang menyebabkan beliau tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’.” Aisyah berkata, “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.”(H.R Muslim 529)

Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memulai dakwahnya dengan tauhid, mengiringi dengan tauhid dan mengakhiri pula dengan tauhid. Dan beliau shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid di akhir hidup beliau.Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan adalah perkara yang paling utama dan paling penting karena ia tidak akan sempat lagi menyampaikan sesuatu apapun setelah itu. Dari sini dapat terlihat apa yang dianggap paling penting oleh seseorang dalam hidupnya. Demikian pula wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling penting bagi mereka adalah tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) Islam” (Al Baqarah: 132)

Metode Mendakwahkan Tauhid

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan bahwa dakwah kepada syahadat Laa ilaaha ilallah adalah dakwah yang terperinci. Ini adalah satu hal yang penting. Banyak orang yang berilmu menyerukan dakwah tauhid secara global. Namun jika datang penjelasan rinci tentang permasalahan tauhid atau syirik mereka menyelisihinya. Demikianlah seharusnya penerapan dakwah tauhid, yakni dakwah yang terperinci, bukan hanya secara global. Adapun kebanyakan orang mereka menyeru dakwah tauhid secara global. Mereka mengatakan :” Kami berpegang teguh dengan tauhid dan berlepas diri dari syirik”, namun tidak menyebutkannya secara terperinci. (Lihat At Tamhiid hal 63)

Inilah yang diterapkan oleh para ulama robbani dalam mendakwahkan tauhid. Contohnya adalah dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dapat kita lihat dalam kitab beliau yang sangat bagus yaitu Kitab Tauhid. Dalam kitab ini beliau menjelasakan permasalahan tauhid dan syirik secara terperinci. Kitab ini diangggap oleh para ulama sebagai kitab yang paling bagus dan paling lengkap menjelasakan semua permasalahan tauhid. Oleh karena itu, kaum muslimin, khususnya para dai dan penuntut ilmu, hendaknya mempelajari kitab ini beserta penjelasan para ulama dengan benar dan mengajarkannya kepada umat.

Dakwah Tauhid Memecah Belah Umat?

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidzahullah ditanya : Sungguh telah menyebar -Alhamdulillah- seruan kepada manhaj salaf dan berpegang teguh dengannya, akan tetapi ada orang yang mengatakan: “Sesungguhnya dakwah ini (dakwah salafiyah) tidak lain hanyalah akan memecah belah barisan (kaum muslimin, pent) dan mengkoyak-koyakkan, serta menjadikan sebagian mereka memerangi sebagian yang lain. Sehingga mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan meninggalkan (memerangi, pent) musuh-musuh mereka yang hakiki. Apakah ini benar, dan apa nasehat Syaikh?

Jawaban :

Ini adalah pemutarbalikan hakekat (fakta), karena sesungguhnya berdakwah kepada tauhid dan manhaj salafus shalih itulah yang mampu menyatukan kalimat, dan menyatukan barisan (kaum muslimin) sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah secara keseluruhan, dan jangan kalian berpecah-belah.” [Ali-Imran: 103]

Dan firman-Nya,

” Sesungguhnya ini adadalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka beribadahlah kepadaKu.” [Al-Anbiya: 92]

Maka tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu kecuali di atas kalimat tauhid dan manhaj salaf, karena apabila mereka dibolehkan memilih manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf maka bercerai berai dan berselisihlah mereka, sebagaimana kenyataannya demikian.Siapa yang menyeru kepada tauhid dan manhaj salaf, itulah orang yang menyeru kepada persatuan, sedangkan orang yang menyeru (umat) untuk menyelisihi manhaj salaf maka dialah yang menyeru kepada perpecahan dan perselisihan. Apabila kaum muslimin di atas tauhid dan manhaj salaf, maka mereka berdiri di depan musuh, dalam satu barisan. Dan apabila mereka berpecah-belah dalam berbagai manhaj maka mereka tidak akan mampu menghadapi musuh mereka.
[Disalin dari kitab al Ajwibatu al Mufidah ‘an As-ilah al Manahij al Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

Demikian pembahasan singkat tentang pentingnya dakwah tauhid. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas jalan tauhid, mempelajari dan mengamalkan serta berusaha semampu kita untuk mendakwahkannya. Khususnya kepada para pengemban tugas dakwah, marilah kita memprioritaaskan dakwah tauhid yang merupakan inti dakwah para nabi dan merupakan poros perbaikan umat. Wallahul musta’an.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Kamis, 13 Mei 2010

Pandai Bersyukur, Kunci Surga


Ketika seorang wanita ingin punya baju bagus, perhiasan indah, tampilan menarik, sungguh sebuah kewajaran. Secara fithrah, wanita memang senantiasa bertipe demikian. Wanita dengan tabiatnya sebagai pendamping pria, memang selalu suka berhias, berdandan dan mempercantik diri. Kesukaannya terhadap benda-benda duniawi juga cenderung lebih besar ketimbang kaum pria. Maka sungguh tidak bijak bila “fithrah” itu dihambat sedemikian rupa, atau bahkan dihentikan secara sepihak. Islam adalah agama fithrah, yang sudah pasti akan memiliki tatanan ajaran yang selaras dengan kebutuhan fihtrah.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga).” (Ali Imran : 14)

Antara Memanjakan Diri dan Mematikan Hati
Namun apa yang dikehendaki fithrah tidaklah sama dengan apa yang dimaui oleh hawa nafsu? Hal-hal yang berlebihan selalu saja berlawanan dengan fithrah itu sendiri. Sebagian istri tenggelam dalam khayalan. Mereka terlampau berlebih-lebihan dalam menuntut kesempurnaan. Dalam benaknya, pernikahan laksana surga Firdaus. Di dalamnya tak ada kepenatan, beban, ataupun kesusahan. Ia menginginkan pernikahan sesuai dengan gambaran dan fantasinya, tanpa bisa menoleransi adanya sedikit pun kesulitan.
Akhirnya, ketika sang istri berhadapan dengan kenyataan yang sarat tanggung jawab, saat ia dituntut untuk mengambil keputusan, melahirkan anak dan menghadapi berbagai macam kesulitan hidup, banyak di antara mereka yang tak sanggup menghadapinya. Tak jarang yang akhirnya berpikir bahwa ia telah keliru memilih pendamping hidup.
Betapa apa yang dialaminya, jauh di luar apa yang selama ini dibayangkannya. Di satu sisi, ia sadar bahwa ia adalah istri yang harus melayani suami. Tapi di sisi lain, nafsu dan syahwatnya berkubang ambisi dan fantasi yang entah kapan bisa terpuaskan. Kondisi itu pada sebagian wanita bisa memuncak menjadi depresi dan tekanan hidup yang hebat. Bahkan ia tak segan memohon cerai, hanya agar terlepas dari ikatan-ikatan yang terasa amat membelenggunya.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya persepsi semacam itu, adalah kecenderungan sebagian masyarakat memetik inspirasi dari kisah-kisah roman picisan, novel-novel terjemahan, sinetron televisi atau berbagai tayangan film layar lebar.
Kisah, sinetron maupun film tersebut seringkali menggambarkan kehidupan pernikahan yang serba nyaman dan tak pernah dihinggapi masalah. Gaya hidup glamour sering digambarkan sebagai model-model kesuksesan yang patut diteladani.
Belum lagi tingkah polah selebritis yang saling berlomba mengambil simpati dengan tampilah wahnya. Ketika istri mengendarai bahtera pernikahan, pengalaman yang ia hadapi jauh bertentangan dengan berbagai gambaran itu. Dirinya dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya.
Seorang istri yang bijaksana hendaknya bersikap adil dalam memandang, tidak larut dalam mimpi atau membiarkan jiwanya menerawang ke lembah khayalan dan fantasi buta. Tak usah berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan rumah tangga bukanlah sebuah gambaran sesaat. Bukan pula cerita khayalan yang direkayasa.
Ia sesungguhnya realitas yang berbaur penderitaan, angan-angan, kesenangan dan kesedihan, layaknya semua kenyataan hidup lainnya. Semua ini dapat diatasi jika bahtera kehidupan dijalani dengan memperbaiki pola beradaptasi dengannya. Seni menikmati realitas harus dipelajari setahap demi setahap. Belajar menahan derita dan kesusahan adalah seni agar hati tak mudah mati.

Bila Hasrat Belum Jadi Terwujud…
Nah, jika Anda seorang istri yang gagal mendapatkan sebagian fantasi Anda sebelum menikah, haruskan Anda mengatakan, ‘Yang namanya susah, tetap saja susah.’ Lalu Anda membiarkan diri Anda tenggelam dalam kesusahan itu? Tentu tidak demikian! Anda harus belajar untuk menahan diri, menguatkan jiwa dan rohani untuk menghadapinya.
Kekuatan memikul tanggung jawab, beban dan berbagai kesulitan merupakan faktor terbesar bagi terciptanya kebahagiaan pernikahan. Orang yang paling bahagia adalah orang yang paling mampu bersusah payah. Meski dalam realitasnya, belum tentu ia akan mengalami segala kepayahan itu. Artinya, saat Anda siap disuntik untuk berobat, Anda akan menjadi pasien yang berbahagia. Meski ternyata Anda tak harus mengalaminya.
Ukhti muslimah, saat saudari mampu menjadi istri yang tak banyak menuntut –bukan tak punya keinginan dan permintaan sama sekali–, saudari telah membuka pintu kebahagiaan untuk kehidupan rumah tangga kalian berdua.
Bagi suami, tak ada yang lebih indah dari ungkapan seorang istri, ‘Tak apa mas, namanya belum rezeki. Sabar, aku juga tak terlalu butuh kok. Yang ada ini saja sudah jauh dari mencukupi.’
Wah, sungguh itu adalah kata-kata mujarab, untuk mengobati segala kepenatan jiwa, menghilangkan pikiran yang suntuk, bahkan membangun motivasi untuk lebih giat lagi bekerja dan berusaha.
Beratkah untuk melakukannya? Tidak juga. Sebenarnya, yang dibutuhkan cuma “sesekali” sadar aja. Saat saudari berkeinginan kuat memiliki sesuatu, dan saudari melihat suami sedang berkemampuan, sampaikan saja terus terang.
Kalau suami punya beberapa kebutuhan yang sangat mendesak, tahan dulu keinginan itu. Saat sudah lapang, tak apa minta lagi. Bila dibelikan, ucapkanlah terima kasih. Meski ia adalah suami saudari dan memang sudah kewajibannya memberikan apa yang menjadi kebutuhan saudari, terima kasih itu perlu dan sangat berpengaruh menciptakan kebahagiaan di hari saudari. Jangan lupa tersenyum dan memperlihatkan wajah gembira. Tak cukup hanya senang sendiri dalam hati. Karena berbagi itu perlu, apalagi berbagi kebahagiaan.
Sepanjang permintaan itu masih dalam batas kewajaran dan suami saudari mampu, boleh saja saudari meminta. Asal jangan terus-terusan meminta. Biarpun suami mampu, dan permintaan itu sederhana, “sesekali” menahan diri itu perlu.
Kalau “sesekali” itu bisa saudari lakukan lebih banyak, akan lebih baik lagi. semakin banyak, semakin baik pula. Syukur-syukur, suami saudari memiliki pengertian mendalam, sehingga tanpa minta pun saudari sering dibelikan apa yang saudari suka. Itu akan lebih baik, karena nilai ketulusannya lebih banyak.
Dan yang terpenting, hal itu akan lebih mengurangi beban pikiran suami, yang bisa jadi tak saudari ketahui secara pasti. Terkadang, bisa jadi suami saudari menahan diri untuk tidak memberitahukan kebutuhannya, demi kebahagiaan saudari.
Menahan diri sesekali itu, jelas banyak hikmahnya, apalagi bila terjadi berkali-kali. Cara itupun memiliki seni tersendiri, yang kalau saudari kuasai penuh, niscaya akan menjadi sumber kepuasan tersendiri. Puasa mengajarkan kita untuk itu. Bayangkan, makan dan minum yang sudah jadi kebiasaan sehari-hari, belum lagi hubungan seks yang menjadi “primadona” dalam kehidupan duniawi, harus “dihentikan” dalam beberapa jam!
Itulah sebabnya, puasa berpahala besar, dan Allah menjanjikan banyak hal bagi yang melakukannya demi mencari keridhaan Allah,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Setiap hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, akan Allah pisahkan jarak antara dirinya dengan Neraka sejauh tujuh puluh musim gugur (70 Tahun).” [1]
Seorang istri, hendaklah tetap bersyukur meskipun musibah menimpanya, sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah atas takdir yang ditentukan kepadanya. Apalagi bila kenyataannya, ia juga banyak menerima kesenangan, dan kesulitan itu justru dirasakan olehnya sesekali saja. Ia harus menjaga amarah, jangan banyak mengeluh dan memerhatikan adab-adab dalam menghadapi segala wujud musibah. [2]
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa suami adalah penyebab lahirnya keturunan. Anak adalah nikmat yang sangat agung. Seandainya laki-laki tidak memiliki kelebihan kecuali hanya nikmat ini, maka cukuplah kelebihan itu untuk disebutkan.
Ar-Raafi’i menjelaskan, “Sekalipun istri sengsara karena suaminya, sungguh suami telah membahagiakannya karena ia menjadi penyebab lahirnya keturunan. Karenanya, kelebihan ini saja sudahlah cukup menjadi kelebihan dan kenikmatan.” [3]
Rasulullah shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda, “Saya melihat kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari keluarga dan kebaikan-kebaikan suami. Jika sekiranya engkau berbuat baik kepadanya, lalu ia melihat sedikit kekurangan darimu, maka ia berkata: ‘Saya tidak melihat suatu kebaikan darimu sama sekali’.” [4]
Jadilah wanita yang pandai bersyukur. Jadilah Ahli Surga….

(Ust. Abu Umar Basyir)

Catatan Kaki:

1. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 1044), oleh Muslim (II : 808), oleh Imam At-Tirmidzi (IV : 20), Abu Dawud (III : 185), juga Ibnu Hibban dalam Shahihnya (XIII : 13) dari hadits Abu Hurairah.
2. Lihat: Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qayyim, II/199 dan 243.
3. Wahyu Al-Qalam, Ar-Rafi’i, I/292
4. HR. Al-Bukhari No. 29 dan Muslim No. 907


http://majalahsakinah.com