Senin, 24 Mei 2010

Penghapus - Penghapus dosa


Termasuk bentuk kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita adalah, Dia mensyari’atkan kepada kita sebagian amalam-amalan yang dapat menhapuskan dosa dan kesalahan. Dan sebagiannya telah datang dalam Al-Quran dan yang lainnya dalam as-Sunnahm Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah telah menulis sbuah kitab dengan judul “Ma’rifatul Khishaal Mukaffiratu adz-Dzunub al-Muqaddamah Wa al-Muakhkharah” yang artinya “Mengetahui Penghapus-Penghapus Dosa Yang Lalu dan Yang Akan Datang” dan kami telah meringkas perkara-perkara tersebut dari kitab ini dan selainnya yang membahas tema yang sama yaiut tentang hal-hal yang bisa menhapuskan dosa. Kami meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Asmaul Husna dan Sifatnya yang tinggi agar memberikan manfaat kepada kami dan kepada seluruh kaum muslimin dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Dan berikut ini sebagian amalan yang dapaat menhapuskan dosa:

1.Menyempurnakan wudhu dan berjalan menuju masjid

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط

رواه مالك ومسلم والترمذي والنسائي وابن ماجه بمعناه

“Apakah kalian mau aku tunjukkan sesuatu dengannya Allah menghapuskan dosa dan ,meningkatkan derajat?” mereka berkata:’Tentu wahai Rasulullah ‘. Beliau menjawab:”Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam kondisi tidak menyenangkan, memperbanyak langkah menuju masjid dan menunggu shalat setelah shalat, maka itu adalah ribath, itu adalah ribath, itu adalah ribath (berjaga-jaga di daerah perbatasan musuh)” (Dtrtwayatkan oleh Imam Malik, Muslim, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib 185)

2.Puasa hari ‘Arafah dan ‘Asyuraa’

صيام يوم عرفة إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله و السنة التي بعده و صيام يوم عاشوراء إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله .

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Puasa hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hal itu menghapuskan satu tahun sebelumnya dan sesudahnya, dan puasa ‘Asyuraa’ aku berharap kepada Allah hal itu menghapuskan satu tahun sebelumnya” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Lihat Shahih al-Jaami’)

3. Shalat malam di bulan Ramadhan

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه رواه البخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang, ,menghidupkan ramadhan (shalat di malamnya), diampuni dosanya yang telah lalu”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasaai)

4. Haji mabrur



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع من ذنوبه كيوم ولدته أمه رواه البخاري وغيره

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang berhaji dan dia tidak berbuat rafats (hubungan suami istri) dan tidak berbuat kefasikan maka kembali dari dosanya seperti hari ketika dilahirkan oleh ibunya”.(HR.al-Bukhari dan lainnya)

Dan Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam juga bersabda:

الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة رواه أحمد والطبراني في الأوسط صحيح الجامع (3170)

”Haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga”.(HR. Imam Ahmad dan ath-Thabrani. Shahihul Jami; (3170))

5. Memaafkan (menghapus atau memberi tempo) orang yang berhutang dan bangkrut

Dari Abu Hurairah berkata:

عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كان تاجر يداين الناس فإذا رأى معسرا قال لفتيانه تجاوزوا عنه لعل الله يتجاوز عنا فتجاوز الله عنه ) رواه البخاري فتح الباري(4/309)

Dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:”Dahulu ada seorang pedagang yang memberikan hutang kepada manusia (para pembeli), apabila dia melihat mereka kesusahan dalam membayarnya dia berkata kepada pembantunya:’Maafkanlah dia (hapuskam atau tangguhkan hutangnya), semoga Allah kelak akan memaafkan kita. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memaafkannya”.(HR Imam al-Bukhari. Fathul Bari 4/309)

6. Mengikuti/menyusul keburukan dengan kebaikan

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya):

”Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan”. (QS.Huud: 114)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

7 - اتق الله حيثما كنت و أتبع السيئة الحسنة تمحها و خالق الناس بخلق حسن . ( حسن ) انظر حديث رقم : 97 في صحيح الجامع .

”Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan ikutilah/susullah perbuatan buruj dengan kebaikanm, nisscaya dia (kebaikan) akan menghapuskannya, dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang terpuji”.(hadits hasan. Lihat hadits ke 97 dalam Shahihul Jami’)

7.Menybarkan salam dan mempebagus ucapan,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" إن من موجبات المغفرة بذل السلام و حسن الكلام " .رواه الخرائطي في " مكارم الأخلاق وصححه الألباني في " السلسلة الصحيحة " 1935

”Sesungguhnya yang termasuk sebab pengampunan adalah menyebarkan salam dan baik dalam perkataan”.(HR.al-Kharaaithy dalam Makarimul Akhlaq. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1935)

8. Sabar ketika mendapatkan ujian,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

" إن الله تعالى يقول : إذا ابتليت عبدا من عبادي مؤمنا ، فحمدني و صبر على ما ابتليته به ، فإنه يقوم من مضجعه ذلك كيوم ولدته أمه من الخطايا ، و يقول الرب للحفظة : إني أنا قيدت عبدي هذا و ابتليته ، فأجروا له من الأجر ماكنتم تجرون له قبل ذلك و هو صحيح " . أخرجه أحمد ( 4 / 123 ) وحسنه الألباني في " السلسلة الصحيحة "144

”Sesungguhnnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:”Apabila Aku menguji salah seorang hambaku dari hamba-hamba-Ku yang beriman, lalu dia memuji-Ku dan bersabar terhadap ujian yang menimpanya, maka dia bangkit dari pembaringannya seperti ketika dia baru dilahirkan oleh ibunya (bersih) dari dosa. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat penjaga:”Aku telah mengikat hamba-Ku ini dan telah mengujinya, maka tulislah baginya pahala sebagaimana kalian menulisnya sebelum itu ketika dia sehat”.(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/123 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 144)

9.Menjaga Shalat lima waktu, sholat Jum’at dan puasa Ramadhan,Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.

”Shalat lima waktu, (dari) shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, selama dosa besar dijauhi”.(HR. Imam Muslim)

10. Menyempurnakan wudhu

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ – أَوِ الْمُؤْمِنُ – فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ – أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ – حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ ».

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu, maka ketika membasuh wajahnya keluar dari wajahnya dosa yang dia lihat dengan matanya bersama air wudhu atau tetesan air terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari setiap tangannya dosa yang dia lakukan dengan tangannya bersama air atau air tetesan terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari tiap-tiap kakinya dosa yang dia tempuh dengan kakinya bersama air atau air tetesan terakhir”.(Syarah Shahih Musllim oleh Imam Nawawi rahimahullah)

11.Membaca dzikir-dzikir penhapus dosa,

a.Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , beliau bersabda:


« مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ ».

”Barang siapa yang ketika mendengar adzan membaca:



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

maka akan diampuni dosanya.(Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 4/331)

Dan barang siapa yang membaca:


سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

dalam sehari 100 kali, dihapuskan kesalahannya walaupun seperti buih di lautan. (HR. al-Bukhari dan Muslim. Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 17/20)

Dan dalam Shahih Muslim juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

“Barang siapa yang bertasbih selesai shalat 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali maka itu 99 kali dan menggenapkannya seratus dengan kalimat:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
diampunilah dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di laut.”(Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/99)

Dari Mu’adz bin Anas (dari bapaknya) radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang makan lalu membaca:

الحمد لله الذي أطعمني هذا ورزقنيه من غير حول مني ولا قوة

(Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan aku dan memberi rizki tanpa daya dan kekuatanku), diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR.at-Tirmidzi, dihasankan oleh al-Albani rahimahullah)

Dan barang siapa yang memakai pakaian lalu membaca:

لحمد لله الذي كساني هذا و رزقنيه من غير حول مني و لا قوة

(Segala puji bagi Allah yang telah memberi pakaian kepadaaku dan memberi rizki tanpa daya dan kekuatanku), diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR.Abu Dawud, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

12.Adzan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



إن المؤذن يغفر له مدى صوته

”Sesungguhnya muadzin diampuni dosanya sejauh mana suaranya”.(hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahamad di dalam musnadnya. Lihat Shahihul Jami’)

13.Shalat, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات هل يبقى من درنه شيء ؟ قالوا لا يبقى من درنه شيء قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا

”Apa pendapat kalian sekiranya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian, dia mandi setiap hari 5 kali, apakah tersisa kotorannya?Mereka (para Sahabat) berkata:”Tidak tersisa dari kotorannya sedikit pun.”Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”itu seperti shalat lima waktu, Allah menghapuskan dosa-dosa dengannya.”(HR.al-Bukihari dan Muslim. Lihat Fathul Bari 2/11)

14.Berjalan untuk shalat ke masjid, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

( صلاة الرجل في الجماعة تضعف على صلاته في بيته وفي سوقه خمسة وعشرين ضعفا وذلك أنه إذا توضأ فأحسن الوضوء ثم خرج إلى المسجد لا يخرجه إلا الصلاة لم يخط خطوة إلا رفعت له بها درجة وحط عنه بها خطيئة فإذا صلى لم تزل الملائكة تصلي عليه ما دام في مصلاه اللهم صل عليه اللهم ارحمه ولا يزال أحدكم في صلاة ما انتظر الصلاة )

”Shalatnya seorang laki-laki bersama jama’ah (di masjid). Dilipat gandakan dari shalatnya di rumahnya, di pasarnya 25 kali lipat, hal itu apabila dia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu keluar menuju masjid, tidaklah dia keluar kecuali untuk shalat, maka tidaklah dia melangkahkan kakinya satu langkah kecuali dinaikkan untuknya satu derajat, dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Apabila selsai shalat maka para Malaikat terus-menerus mendoakannya selama dia berad di tempat shalatnya dengan doa: اللهم صل عليه اللهم ارحمهdan salah seorang di antara kalian berada dalam shala tselama menunggu shalat.(HR.al-Bukhari dan Muslim)
[

b]Bertepatan ucapan “Aamiin” nya dengan amiin malaikat, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

: ( إذا قال الإمام { غير المغضوب عليهم ولا الضالين } . فقولوا آمين فإنه من وافق قوله قول الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
p[]“Apabila imam menucapkan { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }, maka ucapkanlah aamiin, karena barang siapa yan amiinya bertepatan dengan aamiinnya Malaikat maka diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR. al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari 2/266)

Dan masih banyak lagi penghapus-penghapus dosa yang lain, seperti ahalat malam. Jihad di jalan Allah, sedekah, telah mendapatkan hukuman had di dunia dan lain-lain.Wallahu A’lam

(Sumber:”Ath-Thariq ilaa al-Janah”diterjemahkan dengan sedikit perubahan oleh Abu Yusuf Sujono) dikutip dari http://alsofwah.or.id

Jumat, 21 Mei 2010

Bagaimana Investasi di Jalan Allah? … Ini bukan investasi biasa


Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al Hadid: 11)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik untuk jalan fii sabilillah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.

Kisah yang Menarik

‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas, Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa.” Istrinya mengatakan, “Iya.”

Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah, aku telah memberi pinjaman kebun inu pd Rabbku”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”

Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dgn Abud Dahdaa, lalu mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.”

(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir 4/377)

Masya Allah …
Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba lah yang butuh dengan hal seperti ini, karena ini adalah karunia Allah agr hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat.

Disalin dari : http://rumaysho.wordpress.com

Kamis, 20 Mei 2010

Mari Mendakwahkan Tauhid


Tidak diragukan lagi bahwa tauhid merupakan permasalahan yang paling penting dalam agama ini. Maka mendakwahkannya juga merupakan perkara yang penting yang tidak boleh disepelekan. Namun sangat disayangkan, banyak di antara para dai yang meremehkan dakwah tauhid, mereka justru disibukkan dengan permasalahan lainnya tanpa mempedulikan dakwah yang satu ini. Sementara orang yang berkonsentrasi mendakwahkan tauhid dianggap ketinggalan zaman dan memecah belah umat. Padahal inilah inti dakwah para rasul ‘alaihimus salam.

Bukti Benarnya Tauhid Seseorang

Setelah sesorang bertauhid dengan benar dan berusaha untuk menyempurnakan tauhidnya, kewajiban selanjutnya adalah berusaha untuk mendakwahkan tauhid. Karena keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali jika disertai ajakan dakwah kepada tauhid. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Demi masa(1). Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian(2). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran(3).” (QS. Al Ashri :1-3)

Di samping menyempurnakan tauhid juga harus ada ajakan kepada tauhid. Jika tidak, maka ada yang kurang dalam tauhid tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meniti jalan tauhid disebabkan dia mengetahui bahwa jalan tauhid adalah jalan yang terbaik. Kalau memang dia benar dalam keyakinannya, maka dia juga harus mendakwahkan tauhid. Mengajak kepada seruan tauhid Laa ilaaha ilallah adalah termasuk kesempurnaan tauhid seseorang, dan tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dia berusaha untuk mendakwahkan tauhid tersebut. (Lihat Al Qoulul Mufiid I/ 82, Syaikh ‘Utsaimin, cet. Darul ‘Aqidah)

Dakwahnya Pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf:108)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk memberitahukan kepada manusia tentang penjelasan manhaj (metode berdakwah) para nabi dan pengikutnya, yakni berdakwah kepada Allah di atas dasar ilmu. Hal ini menunjukkan barang siapa yang tidak mengajak kepada Allah di atas ilmu maka dia bukanlah pengikut Nabi yang sejati walupun dia seorang fakih yang berilmu.

Yang dimaksud dengan firman Allah أَدْعُوا إِلَى اللهِ (menyeru kepada Allah) adalah berdakwah kepada tauhidullah ‘Azza wa Jallla yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, serta berdakwah terhadap perkara syariat agama yang lainnya. Sehingga dakwah berlaku untuk orang kafir agar masuk ke dalam Islam dan juga dakwah kepada kaum muslimn yang bermaksiat kepada Allah agar kembali bertaubat kepada Allah, mau melaksanakan perintah, memperingatkan mereka dari syirik dan meninggalkan maksiat. Dakwah tidak hanya terbatas pada mendakwahi orang kafir, bahkan kaum muslimin juga membutukan dakwah. Dakwah bersifat umum, yakni dakwah untuk mengenal tauhid dan lawannya yaitu syirik. (Lihat I’aanatul Mustafiid I/93-94, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Markaz Fajr)

Ayat di atas mengandung dua faedah penting :

Pertama. Bahwa yang dimaksud dakwah kepada Allah adalah dakwah kepada tauhid. Inilah yang dipraktekkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman.

Kedua. Peringatan untuk senantiasa ikhlas dalam berdakwah . Seseorang yang berdakwah harus ikhlas dalam berdakwah, sebagaimana firman Allah أَدْعُوا إِلَى اللهِ (menyeru kepada Allah), karena kebanyakan juru dakwah sekarang mengajak kepada dirinya dan kelompoknya. (Lihat At Tamhiid hal 65, Syaikh Shalih Alu Syaikh, cet. Daarut Tauhid)

Para Nabi Mendakwahkan Tauhid

Setiap Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala pasti semua mendakwahkan tauhid dan memperingatkan tentang syirik. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl:36).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Seluruh para rasul menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah dan melarang untuk menujukan ibadah kepada selain-Nya. Allah Ta’ala tidak mengutus seorang rasul pun sejak terjadinya kesyirikan pada kaum Nuh yang diutus rasul kepada mereka kecuali untuk tujuan tersebut (hanya beribadah kepada Allah semata). Rasul yang pertama diutus ke muka bumi sampai penutup para Rasul, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, semuanya mendakwahkan sebagaimana yang Allah perintahkan,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’:25)”( Fathul Majiid hal 24. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, cet. Muasasah al Mukhtar.)

Allah Ta’ala berfirman,

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). “ (QS. Asy Syura’:13)

Inilah dakwah seluruh para Nabi, di antara mereka adalah para Ulul ‘Azmi. Mereka berjalan di atas manhaj dakwah yang satu yaitu tauhid. Inilah kewajiban paling agung yang merupakan materi dakwah yang diusung oleh para nabi kepada bani adam apaun kondisi yang mereka hadapi walaupun mereka menghadapi kondisi kaum, negeri, dan waktu yang berbeda-beda. Materi dakwah yang mereka sampaiakn satu yang merupakan kewajiban yang harus ditempuh ketika mengajak manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini juga merupakan jalan dakwah yang ditempuh para penerus dakwah rasul. Tidak boleh mengganti dan berpaling dari jalan dakwah ini. (Usus Manhaj Salaf fii Da’wah ilallah hal 86, Syaikh Fawwaz bin Haliil as Suhaimi, cet. Daar Ibnul Qayyim )

Tauhid Asas Perbaikan Umat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan suatu bangunan, hendaklah ia memantapkan pondasinya, menguatkannya, dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya pondasi dan kemantapannya. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Semakin kokoh suatu pondasi akan menghasilkan bangunan yang tinggi dan kuat. Jika suatu bangunan roboh mudah untuk memperbaikinya. Namun jika pondasinya tidak kokoh, bangunan itu tidak akan tinggi dan kuat. Jika suatu pondasi telah hancur, maka bangunannya pun akan roboh . Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan hancur”.

Beliau melanjutkan : “Maka buatlah bangunanmu di atas pondasi iman yang kokoh. Jika rusak bagian dari bangunan yang tinggi maka memperbaikinya lebih mudah bagimu daripada hancurnya suatu pondasi. Pondasi ini terdiri dari dua macam. Pondasi pertama yaitu benarnya pengenalan terhadap Allah, perintah-perintah-Nya serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Yang kedua adalah ketundukan dan ketaatan hanya kepada Allah dan rasul-Nya dengan sebenar-benarnya. Inilah pondasi terkuat yang bisa digunakan oleh seseorang untuk menegakkan bangunannya dan ia bisa meninggikan bangunannya sesuka dia. Oleh karena itu, perkokohlah pondasi bangunan kalian, jagalah kekuatannya dan senantiasalah memeliharanya” (Al Fawaaid hal 149-150, Ibnul Qayyim al Juziyah, cet. Daarul ‘Aqidah)

Contohlah Dakwah Nabi Kita

Barangsiapa yang mau meneliti sejarah Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa salam, dia akan dapat mengambil pelajaran manhaj berdakwah kepada Allah. Bahwasanya yang pertama kali yang diserukan kepada manusia adalah aqidah tentang beribdaha hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya serta meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana ini merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha ilallah.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam adalah uswah dalm segala hal . termasuk dalam melaksankan dakwah. Beliau tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutus menjadi rasul, menyeru kepada manusia untuk memperbaiki aqidah dengan menyembah Allah semata dan meninggalakan peribadatan kepada berhala. Seruan ini beliau lakukan sebelum memerintahkan mereka untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan meninggalkan kemaksiatan seperti riba, zina, meminum khomer, dan perjudian.

Hal ini menunjukkan dengan jelas kesalahan sebgian jamaah dakwah pada zaman ini yang tidak memprioritaskan aqidah dan hanya mementingkan dakwah terhadap perbaikan akhlak (dengan mengenyampingkan dakwah tauhid, ed). Mereka melihat kebanyakan manusia melakukan perbuatan syirik akbar di sekitar kuburan di negeri-negeri Islam namun tidak mengingkarinya, tidak melarang darinya, baik dengan perkataan, pada saat ceramah, atau dengan tulisan, kecuali hanya sebagian kecil saja. Bahkan terkadang mereka berada di antara barisan orang-orang yang melakukan syirik, bersatu dengan orang-orang yang menyimpang, tidak melarang dan memperingatkan mereka! (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqad hal 15, Syaikh Shalih Fauzan, cet. Maktabah Salsabil)

Tauhid Prioritas Utama

Bukti bahwa dakwah tauhid yang seharusnya jadi prioritas adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ,

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah –dalam riwayat lain: kepada tauhidullah-. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah” (H.R Bukhari 1395 dan Muslim 19)

Dalam hadist ini terdapat pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling penting kemudian baru yang lainnya. Inilah jalan dakwah para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat Laa ilaaha ilallah, karena hal ini merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadat Laa ilaaha ilallah, maka memungkinkan dibangun di atasanya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang lainnya. Tidak mungkin Engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka masih musyrik, Engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, shodaqoh, menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena Engkau tidak meletakkan asas yang pertama.

Hal ini berbeda dengan kondisi para dai hari ini yang tidak memperhatikan tentang dakwah terhadap syahadat Laa ilaaha ilallah. Mereka mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul dengan baik sesama manusia, berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, dan permasalaha yang lain, namun mereka tidak mengingatkan tentang perkara tauhid dan tidak memperhatikannya seolah-olah ini bukan sesuatu yang wajib. Bagaimana pun mereka susah payah berjuang namun amalan mereka tidak bermanfaat sehingga mereka memperkokoh pondasi dan pokok yang mendasari perkara-perkara agama yang lain berupa hukum-hukum, sholat, zakat, haji, dan sebaginya. Inilah manjahj para Nabi sebagaimana firman Allah,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (An Nahl:36).(I’aanatul Mustafiid I/ 99-100)

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih pantas untuk didahulukan? Bukankah dakwah tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul, sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?

Dakwah Tauhid Dari Awal Sampai Akhir

’Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika sakit yang menyebabkan beliau tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’.” Aisyah berkata, “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.”(H.R Muslim 529)

Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memulai dakwahnya dengan tauhid, mengiringi dengan tauhid dan mengakhiri pula dengan tauhid. Dan beliau shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid di akhir hidup beliau.Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan adalah perkara yang paling utama dan paling penting karena ia tidak akan sempat lagi menyampaikan sesuatu apapun setelah itu. Dari sini dapat terlihat apa yang dianggap paling penting oleh seseorang dalam hidupnya. Demikian pula wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling penting bagi mereka adalah tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) Islam” (Al Baqarah: 132)

Metode Mendakwahkan Tauhid

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan bahwa dakwah kepada syahadat Laa ilaaha ilallah adalah dakwah yang terperinci. Ini adalah satu hal yang penting. Banyak orang yang berilmu menyerukan dakwah tauhid secara global. Namun jika datang penjelasan rinci tentang permasalahan tauhid atau syirik mereka menyelisihinya. Demikianlah seharusnya penerapan dakwah tauhid, yakni dakwah yang terperinci, bukan hanya secara global. Adapun kebanyakan orang mereka menyeru dakwah tauhid secara global. Mereka mengatakan :” Kami berpegang teguh dengan tauhid dan berlepas diri dari syirik”, namun tidak menyebutkannya secara terperinci. (Lihat At Tamhiid hal 63)

Inilah yang diterapkan oleh para ulama robbani dalam mendakwahkan tauhid. Contohnya adalah dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dapat kita lihat dalam kitab beliau yang sangat bagus yaitu Kitab Tauhid. Dalam kitab ini beliau menjelasakan permasalahan tauhid dan syirik secara terperinci. Kitab ini diangggap oleh para ulama sebagai kitab yang paling bagus dan paling lengkap menjelasakan semua permasalahan tauhid. Oleh karena itu, kaum muslimin, khususnya para dai dan penuntut ilmu, hendaknya mempelajari kitab ini beserta penjelasan para ulama dengan benar dan mengajarkannya kepada umat.

Dakwah Tauhid Memecah Belah Umat?

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidzahullah ditanya : Sungguh telah menyebar -Alhamdulillah- seruan kepada manhaj salaf dan berpegang teguh dengannya, akan tetapi ada orang yang mengatakan: “Sesungguhnya dakwah ini (dakwah salafiyah) tidak lain hanyalah akan memecah belah barisan (kaum muslimin, pent) dan mengkoyak-koyakkan, serta menjadikan sebagian mereka memerangi sebagian yang lain. Sehingga mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan meninggalkan (memerangi, pent) musuh-musuh mereka yang hakiki. Apakah ini benar, dan apa nasehat Syaikh?

Jawaban :

Ini adalah pemutarbalikan hakekat (fakta), karena sesungguhnya berdakwah kepada tauhid dan manhaj salafus shalih itulah yang mampu menyatukan kalimat, dan menyatukan barisan (kaum muslimin) sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah secara keseluruhan, dan jangan kalian berpecah-belah.” [Ali-Imran: 103]

Dan firman-Nya,

” Sesungguhnya ini adadalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka beribadahlah kepadaKu.” [Al-Anbiya: 92]

Maka tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu kecuali di atas kalimat tauhid dan manhaj salaf, karena apabila mereka dibolehkan memilih manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf maka bercerai berai dan berselisihlah mereka, sebagaimana kenyataannya demikian.Siapa yang menyeru kepada tauhid dan manhaj salaf, itulah orang yang menyeru kepada persatuan, sedangkan orang yang menyeru (umat) untuk menyelisihi manhaj salaf maka dialah yang menyeru kepada perpecahan dan perselisihan. Apabila kaum muslimin di atas tauhid dan manhaj salaf, maka mereka berdiri di depan musuh, dalam satu barisan. Dan apabila mereka berpecah-belah dalam berbagai manhaj maka mereka tidak akan mampu menghadapi musuh mereka.
[Disalin dari kitab al Ajwibatu al Mufidah ‘an As-ilah al Manahij al Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

Demikian pembahasan singkat tentang pentingnya dakwah tauhid. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas jalan tauhid, mempelajari dan mengamalkan serta berusaha semampu kita untuk mendakwahkannya. Khususnya kepada para pengemban tugas dakwah, marilah kita memprioritaaskan dakwah tauhid yang merupakan inti dakwah para nabi dan merupakan poros perbaikan umat. Wallahul musta’an.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Kamis, 13 Mei 2010

Pandai Bersyukur, Kunci Surga


Ketika seorang wanita ingin punya baju bagus, perhiasan indah, tampilan menarik, sungguh sebuah kewajaran. Secara fithrah, wanita memang senantiasa bertipe demikian. Wanita dengan tabiatnya sebagai pendamping pria, memang selalu suka berhias, berdandan dan mempercantik diri. Kesukaannya terhadap benda-benda duniawi juga cenderung lebih besar ketimbang kaum pria. Maka sungguh tidak bijak bila “fithrah” itu dihambat sedemikian rupa, atau bahkan dihentikan secara sepihak. Islam adalah agama fithrah, yang sudah pasti akan memiliki tatanan ajaran yang selaras dengan kebutuhan fihtrah.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga).” (Ali Imran : 14)

Antara Memanjakan Diri dan Mematikan Hati
Namun apa yang dikehendaki fithrah tidaklah sama dengan apa yang dimaui oleh hawa nafsu? Hal-hal yang berlebihan selalu saja berlawanan dengan fithrah itu sendiri. Sebagian istri tenggelam dalam khayalan. Mereka terlampau berlebih-lebihan dalam menuntut kesempurnaan. Dalam benaknya, pernikahan laksana surga Firdaus. Di dalamnya tak ada kepenatan, beban, ataupun kesusahan. Ia menginginkan pernikahan sesuai dengan gambaran dan fantasinya, tanpa bisa menoleransi adanya sedikit pun kesulitan.
Akhirnya, ketika sang istri berhadapan dengan kenyataan yang sarat tanggung jawab, saat ia dituntut untuk mengambil keputusan, melahirkan anak dan menghadapi berbagai macam kesulitan hidup, banyak di antara mereka yang tak sanggup menghadapinya. Tak jarang yang akhirnya berpikir bahwa ia telah keliru memilih pendamping hidup.
Betapa apa yang dialaminya, jauh di luar apa yang selama ini dibayangkannya. Di satu sisi, ia sadar bahwa ia adalah istri yang harus melayani suami. Tapi di sisi lain, nafsu dan syahwatnya berkubang ambisi dan fantasi yang entah kapan bisa terpuaskan. Kondisi itu pada sebagian wanita bisa memuncak menjadi depresi dan tekanan hidup yang hebat. Bahkan ia tak segan memohon cerai, hanya agar terlepas dari ikatan-ikatan yang terasa amat membelenggunya.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya persepsi semacam itu, adalah kecenderungan sebagian masyarakat memetik inspirasi dari kisah-kisah roman picisan, novel-novel terjemahan, sinetron televisi atau berbagai tayangan film layar lebar.
Kisah, sinetron maupun film tersebut seringkali menggambarkan kehidupan pernikahan yang serba nyaman dan tak pernah dihinggapi masalah. Gaya hidup glamour sering digambarkan sebagai model-model kesuksesan yang patut diteladani.
Belum lagi tingkah polah selebritis yang saling berlomba mengambil simpati dengan tampilah wahnya. Ketika istri mengendarai bahtera pernikahan, pengalaman yang ia hadapi jauh bertentangan dengan berbagai gambaran itu. Dirinya dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya.
Seorang istri yang bijaksana hendaknya bersikap adil dalam memandang, tidak larut dalam mimpi atau membiarkan jiwanya menerawang ke lembah khayalan dan fantasi buta. Tak usah berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan rumah tangga bukanlah sebuah gambaran sesaat. Bukan pula cerita khayalan yang direkayasa.
Ia sesungguhnya realitas yang berbaur penderitaan, angan-angan, kesenangan dan kesedihan, layaknya semua kenyataan hidup lainnya. Semua ini dapat diatasi jika bahtera kehidupan dijalani dengan memperbaiki pola beradaptasi dengannya. Seni menikmati realitas harus dipelajari setahap demi setahap. Belajar menahan derita dan kesusahan adalah seni agar hati tak mudah mati.

Bila Hasrat Belum Jadi Terwujud…
Nah, jika Anda seorang istri yang gagal mendapatkan sebagian fantasi Anda sebelum menikah, haruskan Anda mengatakan, ‘Yang namanya susah, tetap saja susah.’ Lalu Anda membiarkan diri Anda tenggelam dalam kesusahan itu? Tentu tidak demikian! Anda harus belajar untuk menahan diri, menguatkan jiwa dan rohani untuk menghadapinya.
Kekuatan memikul tanggung jawab, beban dan berbagai kesulitan merupakan faktor terbesar bagi terciptanya kebahagiaan pernikahan. Orang yang paling bahagia adalah orang yang paling mampu bersusah payah. Meski dalam realitasnya, belum tentu ia akan mengalami segala kepayahan itu. Artinya, saat Anda siap disuntik untuk berobat, Anda akan menjadi pasien yang berbahagia. Meski ternyata Anda tak harus mengalaminya.
Ukhti muslimah, saat saudari mampu menjadi istri yang tak banyak menuntut –bukan tak punya keinginan dan permintaan sama sekali–, saudari telah membuka pintu kebahagiaan untuk kehidupan rumah tangga kalian berdua.
Bagi suami, tak ada yang lebih indah dari ungkapan seorang istri, ‘Tak apa mas, namanya belum rezeki. Sabar, aku juga tak terlalu butuh kok. Yang ada ini saja sudah jauh dari mencukupi.’
Wah, sungguh itu adalah kata-kata mujarab, untuk mengobati segala kepenatan jiwa, menghilangkan pikiran yang suntuk, bahkan membangun motivasi untuk lebih giat lagi bekerja dan berusaha.
Beratkah untuk melakukannya? Tidak juga. Sebenarnya, yang dibutuhkan cuma “sesekali” sadar aja. Saat saudari berkeinginan kuat memiliki sesuatu, dan saudari melihat suami sedang berkemampuan, sampaikan saja terus terang.
Kalau suami punya beberapa kebutuhan yang sangat mendesak, tahan dulu keinginan itu. Saat sudah lapang, tak apa minta lagi. Bila dibelikan, ucapkanlah terima kasih. Meski ia adalah suami saudari dan memang sudah kewajibannya memberikan apa yang menjadi kebutuhan saudari, terima kasih itu perlu dan sangat berpengaruh menciptakan kebahagiaan di hari saudari. Jangan lupa tersenyum dan memperlihatkan wajah gembira. Tak cukup hanya senang sendiri dalam hati. Karena berbagi itu perlu, apalagi berbagi kebahagiaan.
Sepanjang permintaan itu masih dalam batas kewajaran dan suami saudari mampu, boleh saja saudari meminta. Asal jangan terus-terusan meminta. Biarpun suami mampu, dan permintaan itu sederhana, “sesekali” menahan diri itu perlu.
Kalau “sesekali” itu bisa saudari lakukan lebih banyak, akan lebih baik lagi. semakin banyak, semakin baik pula. Syukur-syukur, suami saudari memiliki pengertian mendalam, sehingga tanpa minta pun saudari sering dibelikan apa yang saudari suka. Itu akan lebih baik, karena nilai ketulusannya lebih banyak.
Dan yang terpenting, hal itu akan lebih mengurangi beban pikiran suami, yang bisa jadi tak saudari ketahui secara pasti. Terkadang, bisa jadi suami saudari menahan diri untuk tidak memberitahukan kebutuhannya, demi kebahagiaan saudari.
Menahan diri sesekali itu, jelas banyak hikmahnya, apalagi bila terjadi berkali-kali. Cara itupun memiliki seni tersendiri, yang kalau saudari kuasai penuh, niscaya akan menjadi sumber kepuasan tersendiri. Puasa mengajarkan kita untuk itu. Bayangkan, makan dan minum yang sudah jadi kebiasaan sehari-hari, belum lagi hubungan seks yang menjadi “primadona” dalam kehidupan duniawi, harus “dihentikan” dalam beberapa jam!
Itulah sebabnya, puasa berpahala besar, dan Allah menjanjikan banyak hal bagi yang melakukannya demi mencari keridhaan Allah,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Setiap hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, akan Allah pisahkan jarak antara dirinya dengan Neraka sejauh tujuh puluh musim gugur (70 Tahun).” [1]
Seorang istri, hendaklah tetap bersyukur meskipun musibah menimpanya, sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah atas takdir yang ditentukan kepadanya. Apalagi bila kenyataannya, ia juga banyak menerima kesenangan, dan kesulitan itu justru dirasakan olehnya sesekali saja. Ia harus menjaga amarah, jangan banyak mengeluh dan memerhatikan adab-adab dalam menghadapi segala wujud musibah. [2]
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa suami adalah penyebab lahirnya keturunan. Anak adalah nikmat yang sangat agung. Seandainya laki-laki tidak memiliki kelebihan kecuali hanya nikmat ini, maka cukuplah kelebihan itu untuk disebutkan.
Ar-Raafi’i menjelaskan, “Sekalipun istri sengsara karena suaminya, sungguh suami telah membahagiakannya karena ia menjadi penyebab lahirnya keturunan. Karenanya, kelebihan ini saja sudahlah cukup menjadi kelebihan dan kenikmatan.” [3]
Rasulullah shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda, “Saya melihat kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari keluarga dan kebaikan-kebaikan suami. Jika sekiranya engkau berbuat baik kepadanya, lalu ia melihat sedikit kekurangan darimu, maka ia berkata: ‘Saya tidak melihat suatu kebaikan darimu sama sekali’.” [4]
Jadilah wanita yang pandai bersyukur. Jadilah Ahli Surga….

(Ust. Abu Umar Basyir)

Catatan Kaki:

1. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 1044), oleh Muslim (II : 808), oleh Imam At-Tirmidzi (IV : 20), Abu Dawud (III : 185), juga Ibnu Hibban dalam Shahihnya (XIII : 13) dari hadits Abu Hurairah.
2. Lihat: Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qayyim, II/199 dan 243.
3. Wahyu Al-Qalam, Ar-Rafi’i, I/292
4. HR. Al-Bukhari No. 29 dan Muslim No. 907


http://majalahsakinah.com